Minggu, 22 November 2009

Nabi Selalu Menjaga Lisannya

Imam an-Nawawi mengingatkan kita, sepatutnya setiap orang mukallaf menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali ucapan yang jelas menampakkan kemaslahatan. Manakala berbicara dan diam seimbang kemaslahatannya, maka berdasarkan petunjuk sunnah, lebih baik menahan diri dari berbicara. Karena perkataan yang mubah bisa menyeret kepada perkataan haram atau makruh. Bahkan itu sudah banyak terjadi atau biasa. Dan keselamatan tidak terukur harganya.'

Rasulullah bersabda:
“ Dan barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam"2

Beliau juga bersabda:
“ Barang siapa saja yang menjamin bagiku (terjaganya) sesuatu yang berada di antara dua tulang rahangnya (lidahnya) dan sesuatu yang berada di antara dua tulang selangkangannya (kemaluannya), aku menjamin surga baginya. 3

Sahabat Anas pernah menceritakan:
Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah. Aku tidak pernah mencium aroma yang lebih wangi dari aroma (tubuh) Rasulullah. Selama sepuluh tahun aku membantu Rasulullah, beliau tidak pernah berkata kepadaku "Uh". Beliau tidak pernah mengomentari terhadap apa yang aku kerjakan dengan berkata "Kenapa kamu lakukan?" Dan (beliau) tidak pernah berkomentar tentang sesuatu yang tidak kukerjakan dengan perkataan "Kenapa tidak engkau kerjakan (saja)?" 4

Syaikh Husain al 'Awaisyah berkata: "Betapa indah lisan beliau ( Rasulullah ) tidak mengeluarkan kecuali ucapan yang baik. Lihatlah kepada lidah-lidah kita, berapa banyak dosa yang telah ia bukukan? Betapa sering kita mengatakan "Uh" yang begitu dihindari oleh Rasulullah. Bahkan seolah-olah kita tidak bisa hidup tanpa kehadirannya."5

Begitu pula diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah lebih sering diam dan sedikit tertawa.6

Menimbang bahaya yang mengancam dari lidah yang tak bertulang ini, Rasulullah pernah berpesan kepada seseorang yang meminta nasihat kepada beliau:

“ Jika engkau shalat, kerjakanlah seperti shalat orang yang akan berpisah (dengan dunia); janganlah berbicara dengan perkataan yang engkau nanti akan meminta maaf di hari esok, dan janganlah berharap terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain.7

Syaikh Husain dalam Hashaidul-Alsun (hlm. 15-16) juga mengatakan, idealnya kita mempelajari etika ini, budi pekerti yang paling luhur. Rasulullah lebih banyak diam. Padahal setiap orang benar-benar menyukai, sekiranya ia dapat mendengar perkataan beliau. Sebab, beliau tidak berbicara kecuali pasti kebaikan. Kendati demikian, beliau lebih banyak diam. Bukankah etika itu lebih pantas lagi menghiasi diri kita, diam dan memperlama waktunya?

Sumber : Majalah As Sunnah


1. Lihat al Adzkar, halaman 284.
2. HR al Bukhari dan Muslim.
3. HR al Bukhari.
4. Muttafaqun 'alaih.
5. Hashaidul-Alsun, Husain al 'Awaisyah, Darul Hijrah, Cetakan I Tahun 1412 H / 1992 M, halaman 15-16.
6. Ahmad (alMisykah). .
7. HR Ahmad (5/412) dan Shahih Ibni Majah (2/405).

Tidak ada komentar: