Minggu, 29 November 2009

Membela AI-Qur'an

Oleh : Herry Nurdi
Pemerhati Masalah Keagamaan

Samuel Zwemmer dalam Konferensi Gereja di Yerussalem tahun 1935 pernah berkata, "Tujuan kita adalah secara langsung mengkristenkan Muslim. Tapi hal itu tidak sanggup kita laksanakan. Namun yang perlu diingat adalah menjauhkan Mus¬lim dari Islam. Ini yang harus kita capai walaupun mereka tidak bergabung dengan kita."

Untuk menyukseskan agendanya ini, setidaknya dalam paparan Samuel Zwemmer memiliki dua strategi: Penghancuran dan Pembinaan. Penghancuran adalah menge-luarkan orang dari agama mereka, tak masalah menjadi atheis atau bukan, yang penting keluar dari Islam. Pembinaan adalah cara memasukkan dan membina orang-orang ke dalam Kerajaan Tuhan, Kerajaan Kristus. Agar orang-orang tak memikirkan agama, rusaklah mereka dan buat mereka sibuk dengan seks, hiburan, obat-obatan dan segalanya, bahkan sepak bola. Bahkan, ketika beberapa orang yang sangat kecil jumlahnya mulai menyibukkan diri untuk mempelajari, sumber-sumber agama pun telah dicemari dan dirusak secara nyata.

Samuel Zwemmer yang menjadi Ketua Misi Kristen untuk negara-negara Arab, dan juga Ketua Persekutuan Kristen Timur Tengah dengan tegas mengatakan, tugas seorang Kristen bukanlah menghancurkan kaum Muslimin. Tapi memisahkan kaum Muslimin dari Islam. Agar mereka menjadi seorang Muslim yang tak bermoral dan tak memiliki standar akhlak yang jelas. Dengan begitu, negeri-negeri Islam akan jatuh. Tujuan mereka, menciptakan generasi baru yang sesuai dengan kehendak kolonialisme, keinginan penjajah.

Hari ini kita mendapati berbagai golongan dan kelompok, yang seolah berlomba-lomba meruntuhkan Islam dari berbagai sudut serangan. Contoh sebuah kasus muncul yang mengatakan bahwa Islam adalah agama orang-orang Arab dan khusus untuk orang Arab. Maka orang non-Arab yang memeluk Islam sesungguhnya telah dibodohi oleh orang-orang Arab. Artinya, yang dituduhi membodohi oleh gerakan ini ujung-ujungnya adalah sosok mulia Nabi Muhammad saw, na'ud-zubillah.

Hal seperti ini, sama sekali bukan barang baru dalam sejarah perkembangan Islam. Kita bisa melacak pengaruh Orientalisme dalam gerakan Ingkar Sunnah yang menolak penggunaan hadits sebagai sumber hukum Islam. Kita bisa melacak ide perennial dalam gagasan keagamaan Lia dan Jamaah Salamullah yang ia bentuk. Bahkan serangan-serangan terhadap al-Qur'an, sudah jauh dan lebih radikal daripada diinjak-injak kaki-kaki laknat.
Kita harus marah ketika al Qur’an dinistakan dengan cara yang keji seperti diinjak-injak. Tapi seharusnya, kita jauh lebih marah ketika al-Qur'an secara substansi, makna dan hakikatnya dianiaya atas nama ilmiah. Hal ini telah berlangsung lama di negeri ini. Buku karangan Nasr Hamid Abu Zayd, yang berjudul Al-Qur'an Edisi Kritis telah lama terbit di Indo¬nesia. Bahkan dalam salah satu versi penerbitan, sudah mengalami cetak ulang yang keempat kali sejak tahun 2001 silam. Nasr Hamid yang dinyatakan oleh para ulama Al-Azhar sebagai seorang yang telah murtad, mengritisi al-Qur'an dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah penyusunan sampai unsur filologi. Tujuannya satu, melakukan desakralisasi pada teks suci. Tapi tak banyak yang menggugat buku ini.

Bahkan ketika seorang sarjana Indonesia mengikuti hal yang sama, menerbitkan sebuah buku yang mengritisi al Qur’an, sekali lagi tak ada yang banyak memberikan perhatian. Adalah Taufik Adnan Amal, seorang pengajar di IAIN Alauddin Makassar, la menerbitkan sebuah buku berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an. Isinya, idem dito, tak beda jauh. Sama-sama memiliki semangat luar biasa dalam menggugat kesucian Al Qur’an yang menurut mereka telah mengalami infiltrasi politik dan kekuasaan dalam penyusunannya. Dan sekali lagi, tak ada yang meributkan.

Jika ditelusuri, usaha-usaha yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang notabene ada¬lah seorang Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan juga Taufik Adnan Amal, pada pangkalnya adalah usaha yang dirintis oleh para intelektual Yahudi dan Orientalis Misionaris.

Abraham Geiger, seorang pemimpin Yahudi dan pendiri mazhab Yahudi Liberal, menulis bahwa al-Qur'an adalah kitab suci yang mengadopsi banyak ajaran agama sebelumnya. la menulis, apa saja yang dipinjam Muhammad dari Yahudi dalam Was Mohamed aus dem Judenthume aufgenommen?

Lalu ada Theodore Noldeke sarjana Kris¬ten, pendeta dari Jerman yang mengatakan, "Kita menginginkan, misalnya, klasifikasi dan diskusi yang komprehensif mengenai segala elemen Yahudi dalam al-Qur'an; permulaan untuk menggalakkan ini telah dibuat oleh Geiger pada usia muda dalam esainya: apa yang telah dipinjam Muhammad dari Yahudi."

Theodore Noldeke mengatakan, bahwa Nabi Muhammad pernah lupa akan wahyu sebelumnya dan berbagai tuduhan lainnya. la juga mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah karangan Muhammad dan menganggap al-Qur'an mengandung banyak kesalahan yang fatal. Noldeke mengatakan, Yahudi paling tolol sekalipun tidak akan melakukan kesalahan yang dilakukan oleh Muhammad, terutama ketika menjelaskan tentang Hamman yang disebutkan dalam al-Qur'an sebagai salah satu menteri dari Fir'aun.

Tapi lagi-lagi, tak banyak yang terusik de¬ngan kenyataan ini. Kaum Muslimin baru ber-gerak ketika mushaf al-Qur'an dimasukkan ke WC di dalam penjara Guantanamo. Kaum Muslimin baru bergerak ketika Rasulullah digambarkan dalam kartun. Kaum Muslimin baru peduli ketika sekumpulan orang aneh di Malang menginjak-injak al Qur'an tanpa alasan.

Sudah saatnya kaum Muslimin memperdalam perhatiannya pada al-Qur'an yang dilecehkan makna dan substansinya, lalu memberikan pembelaan yang tak kurang ilmiahnya. Bukan hanya emosi sesaat, kemudian hilang seiring berlalunya waktu."

Sumber : Majalah Sabili




Orang Bijak dan Anak Kecil

Seorang bijak, sebagaimana disebutkan dalam buku 65 Kisah Teladan karya Muhammad Sulthan, suatu hari mengajukan pertanyaan kepada seorang anak kecil yang selalu aktif mengikuti shalat Shubuh berjama'ah di masjid. Sang hakim ingin mengetahui, apakah anak itu mengerjakan shalat sebagai kebiasaan saja, ataukah karena kewajiban.

"Wahai anakku, manakah yang lebih utama menurutmu; harta atau akal?" tanya hakim.
"Akal," jawab anak itu.
"Mengapa?" Anak itu menjawab, "Karena akal akan mendatangkan harta, sedangkan harta akan menghilangkan akal."

"Harta atau keadilan?" tanya orang itu lagi. "Keadilan."
"Mengapa?"
"Karena harta akan melindungi pemiliknya dari kezaliman di saat keadilan tiada, sehingga dia menjadi tujuan saat ketidakadilan didapatkan, maka harta hanyalah perantara saja, bukan tujuan."

Lalu hakim bertanya lagi, "Harta atau kekuasaan?"
"Harta," jawab anak kecil itu.
"Mengapa?"
"Karena harta akan menjadi perantaraku untuk menguasai hati apabila kubelanjakan dalam kebaikan. Sedangkan kekuasaan terhadap hati lebih agung. Adapun kekuasaan duniawi seringkali menjadikan aku durhaka dan melampaui batas. Lalu aku berbuat zalim, sehingga aku kehilangan kekuasaan atas hati dan orang-orang sekitarku akan mengincar aku."

"Wahai anakku, harta ataukah teman?"
"Teman. Karena dengan harta saja aku tidak mampu mendapatkan seluruh keinginanku. Tetapi dengan berteman, aku dapatkan semua yang aku inginkan." . 

"Harta atau kesehatan?" "Kesehatan. Karena kesehatan akan mendatangkan harta. Sedangkan harta secara sendirian tidak mampu mendatangkan kesehatan."

"Aku atau kamu?" tanya ahli hikmah itu mengakhiri pertanyaannya.
"Engkau dan aku. Engkau adalah sungai yang penuh mengalirkan hikmah dan ilmu. Sedangkan kami adalah tumbuhan yang minum darinya."
"Sungguh, hatiku dingin tenteram mengetahui jawabanmu, anakku. Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu. Jagalah (hak-hak) Allah," tutur sang ahli hikmah.

Ahmad Haykel




Minggu, 22 November 2009

Nabi Selalu Menjaga Lisannya

Imam an-Nawawi mengingatkan kita, sepatutnya setiap orang mukallaf menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali ucapan yang jelas menampakkan kemaslahatan. Manakala berbicara dan diam seimbang kemaslahatannya, maka berdasarkan petunjuk sunnah, lebih baik menahan diri dari berbicara. Karena perkataan yang mubah bisa menyeret kepada perkataan haram atau makruh. Bahkan itu sudah banyak terjadi atau biasa. Dan keselamatan tidak terukur harganya.'

Rasulullah bersabda:
“ Dan barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam"2

Beliau juga bersabda:
“ Barang siapa saja yang menjamin bagiku (terjaganya) sesuatu yang berada di antara dua tulang rahangnya (lidahnya) dan sesuatu yang berada di antara dua tulang selangkangannya (kemaluannya), aku menjamin surga baginya. 3

Sahabat Anas pernah menceritakan:
Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah. Aku tidak pernah mencium aroma yang lebih wangi dari aroma (tubuh) Rasulullah. Selama sepuluh tahun aku membantu Rasulullah, beliau tidak pernah berkata kepadaku "Uh". Beliau tidak pernah mengomentari terhadap apa yang aku kerjakan dengan berkata "Kenapa kamu lakukan?" Dan (beliau) tidak pernah berkomentar tentang sesuatu yang tidak kukerjakan dengan perkataan "Kenapa tidak engkau kerjakan (saja)?" 4

Syaikh Husain al 'Awaisyah berkata: "Betapa indah lisan beliau ( Rasulullah ) tidak mengeluarkan kecuali ucapan yang baik. Lihatlah kepada lidah-lidah kita, berapa banyak dosa yang telah ia bukukan? Betapa sering kita mengatakan "Uh" yang begitu dihindari oleh Rasulullah. Bahkan seolah-olah kita tidak bisa hidup tanpa kehadirannya."5

Begitu pula diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah lebih sering diam dan sedikit tertawa.6

Menimbang bahaya yang mengancam dari lidah yang tak bertulang ini, Rasulullah pernah berpesan kepada seseorang yang meminta nasihat kepada beliau:

“ Jika engkau shalat, kerjakanlah seperti shalat orang yang akan berpisah (dengan dunia); janganlah berbicara dengan perkataan yang engkau nanti akan meminta maaf di hari esok, dan janganlah berharap terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain.7

Syaikh Husain dalam Hashaidul-Alsun (hlm. 15-16) juga mengatakan, idealnya kita mempelajari etika ini, budi pekerti yang paling luhur. Rasulullah lebih banyak diam. Padahal setiap orang benar-benar menyukai, sekiranya ia dapat mendengar perkataan beliau. Sebab, beliau tidak berbicara kecuali pasti kebaikan. Kendati demikian, beliau lebih banyak diam. Bukankah etika itu lebih pantas lagi menghiasi diri kita, diam dan memperlama waktunya?

Sumber : Majalah As Sunnah


1. Lihat al Adzkar, halaman 284.
2. HR al Bukhari dan Muslim.
3. HR al Bukhari.
4. Muttafaqun 'alaih.
5. Hashaidul-Alsun, Husain al 'Awaisyah, Darul Hijrah, Cetakan I Tahun 1412 H / 1992 M, halaman 15-16.
6. Ahmad (alMisykah). .
7. HR Ahmad (5/412) dan Shahih Ibni Majah (2/405).

Jumat, 20 November 2009

DZIKIR, MEMBANTU MERINGANKAN MASALAH

Alloh berfirman :
 “ Dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku ( QS. Thaha / 20 : 14 )

Sesungguhnya dzikir yang dikerjakan seorang hamba merupakan tujuan penciptaan dirinya dan menjadi penyebab bagi kebaikan dan keberuntungannya. Orientasi dari pelaksanaan sholat adalah membidik tujuan luhur diatas. Seandainya tidak ada sholat yang menjadi kewajiban kaum mukminin yang berulang – ulang dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Alloh, memperhatikan bacaan Al Quran, melantunkan sanjungan bagi Allah, berdoa kepada-Nya, menunjukkan ketundukkan kepada-Nya yang merupakan ruh dzikir, seandainya tidak ada kenikmatan – kenikmatan semacam ini, niscaya kaum mukminin akan masuk dalam kategori kaum ghofilin ( Lalai ).

Dzikir selain merupakan tujuan penciptaan para makhluk dan ibadah – ibadah, pada intinya adalah untuk mengingat Alloh. Dzikir juga dapat membantu seorang hamba untuk mengerjakan amalan – amalan ketaatan walaupun berat, membantu dalam menghadapi orang – orang yang berprilaku diktator, juga pekerjaan menjadi tidak berat baginya. Dzikir juga meringankan bebannya saat bedakwah menyeru kepada Alloh.
 
Alloh berfirman tentang Musa dan Harun :
“ Supaya kami banyak bertasbih kepada Engaku, dan banyak mengingat Engaku ( QS. Thaha / 20 : 33 – 34 ).”

Dan Firman-Nya :

“ Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat – ayat- Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku ( QS. Thaha / 20 : 42 ).” 




Taisirul – lathifil – mannan fi khaulashati tafsiril qur’an, karya syeikh’ abdur rahman bin nashir as – sa’di ( 1307 – 13 76 h ), cetakan III tahun 1414 h, halaman 185




Kamis, 19 November 2009

Berakhlak Baik dan pentingnya Bagi Penuntut Ilmu

Syaikh Muhammad bin ShalihAI Utsaimin rahimahullah
Wahai saudara-saudara sekalian, (pada) kesempatan yang baik ini saya akan menyampaikan topik berakhlak yang baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama bahwa akhlak adalah gambaran batin manusia, karena (pada dasarnya) manusia mempunyai dua bentuk, bentuk luar (yaitu fisik) yang padanya Allah ciptakan badan. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bentuk luar ini ada yang diciptakan dalam bentuk yang indah, dan ada yang diciptakan dalam bentuk yang buruk, dan ada pula yang diciptakan dalam bentuk yang berada diantara keduanya. Dan bentuk batin (demikian juga) ada yang baik dan ada yang buruk, serta ada yang diantara keduanya, dan bentuk batin inilah yang dikatakan sebagai akhlak.

Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : "Gambaran batin , dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu". Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan cara berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan latihan, oleh karena Nabi bersabda kepada Al Asaj bin Qais :

"Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang," (lalu) Al Asaj bin Qais berkata: "Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang mengupayakannya ataukah Allah telah ciptakan keduanya dalam diriku ?" Beliau bersabda: "Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang".

Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha yang dilakukan untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik daripada akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha untuk membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dengan jalan berusaha untuk berakhlak baik, dengan cara membiasakan dan memaksakan sebagaimana yang akan kami sebutkan, insya Allah.

Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Allah Azza Wajalla). Maka apakah makna berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dan juga bermuamalah dengan makhluk ?

Apakah y ang dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ? Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terangkum dalam tiga perkara:

1. Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.

2. Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.

3. Menerima takdir Allah" dengan sabar dan ridha.

Maka ketiga hal inilah sebagai poros yang berkenaan dengan berakhlak baik dengan Allah.

PERTAMA : Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya

Di mana tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur' an), karena berita dari Allah bersumber dari ilmu, dan Allah adalah Dzat yang paling benar perkataan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman tentang dirinya:

"Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah" (AnNisa:87)

Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya. berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur'an dan hadits tidak memasuki dirinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid'ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :

Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda :

"Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia tenggelamkan lalat itu kedalamnya, lalu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat" (Bukhari 5782)

Ini adalah berita dari Rasulullah dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi :

Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku". (Al An'am : 50)

Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :

"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus :32)

Contoh lainnya :

Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran satu mil. Baik itu mil "al makhalah" (ukuran jarak) atau mil perjalanan. Jarak ini (yaitu antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : "Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar?" maka bagaimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita menganalogikan keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-

keadaan didunia. dikarenakan adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, demikianlah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur'an dan hadits).

KEDUA : Menerima Hukum-hukum Allah dengan Bentuk mengamalkannya

Sesungguhnya berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dalam hal yang berkaitan dengan hukum-hukumNya adalah (dengan cara) menerima, mengamalkan dan merealisasikannya, serta tidak menolaknya sedikitpun. Jika seseorang mengingkari suatu hukum Allah, maka tindakan ini termasuk berakhlak buruk kepada Allah.

Kami akan memberikan permisalan tentang puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah (amalan) yang berat bagi manusia, karena dalam ibadah puasa seseorang (harus) meninggalkan hal-hal yang diingini, seperti makanan, minuman, dan jima'. Ini adalah suatu perkara yang berat. Akan tetapi seorang yang beriman, ia akan berakhlak baik kepada Allah, menerima beban syariat ini, dan menerima kemuliaan ini, dan hal ini adalah nikmat dari Allah, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan ketenangan, jiwanya luas, dan kamu akan mendapatinya berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya, akan tetapi orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan "menemui" ibadah seperti ini dengan keluh kesah, kebencian. Dan andaikata ia tidak takut kepada suatu perkara yang tidak baik akibatnya niscaya ia tidak akan berpuasa.

Contoh yang lain adalah shalat :

Tidak dapat diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi sebagian manusia, dan shalat itu ibadah yang berat bagi orang-orang munafik, sebagaimana sabda Nabi :

"Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya' dan shalat subuh" (Bukhari & Muslim)

akan tetapi shalat bagi orang yang beriman adalah "qurratu aini" (penghibur hati) dan menenangkan jiwanya.

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' , (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (Al Baqarah : 45-46)

Shalat bagi orang yang beriman bukanlah hal yang berat, bahkan shalat itu ringan dan mudah (bagi mereka yang beriman). Oleh karena itu Nabi bersabda :

"Diiadikan pelipur lara hatiku dalam shalat"(Hadits riwayat Ahmad, An Nasa'i dan Hakim dan ia berkata hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim, dan menyetujuinya Adz Dzahabi)

Maka berakhlak baik kepada Allah dalam masalah shalat ini, yaitu anda menunaikan shalat dengan lapang dada, tenang, dan kedua matamu mendapatkan pelipur lara jika engkau sedang mengerjakan dan menunggunya jika waktu shalat telah lewat, maka jika engkau telah mengerjakan shalat subuh, engkau dalam kerinduan kepada shalat dzuhur, dan jika engkau telah shalat dzuhur engkau dalam kerinduan kepada shalat ashar, dan jika engkau telah mengerjakan shalat ashar engkau dalam kerinduan kepada shalat maghrib, dan jika engkau telah shalat maghrib engkau dalam kerinduan kepada shalat 'isya'. Dan jika engkau telah selesai mengerjakan shalat isya engkau dalam kerinduan kepada shalat subuh. Demikianlah, hatimu selalu teringat dengan shalat-shalat. Hal seperti tidak dapat diragukan lagi termasuk berakhlak baik kepada Allah.

Dan kami berikan contoh ketiga dalam masalah muamalah : Dalam masalah muamalah, Allah mengharamkan riba bagi kita dengan pengharaman yang jelas dalam Al Qur'an :

"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al Baqarah : 275)

Dan Allah berkata tentang riba :

"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari PenciptaNya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (Al Baqarah : 275)

Allah mengancam orang yang kembali melakukan riba sesudah datang kepadanya nasehat dan mengetahui hukumnya dengan ancaman akan memasukkannya kekal kedalam neraka, (kita mohon perlindungan kepada Allah darinya).

Orang yang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan menyerah (tunduk). Adapun orang yang tidak beriman, ia tidak akan menerimanya dan hatinya sempit dengan hukum ini. la akan berusaha mengadakan berbagai siasat dan cara, karena kita mengetahui bahwa didalam riba terdapat penghasilan yang pasti keutungannya dan tidak terdapat didalamnya perniagaan yang belum diketahui (untung dan rugi), akan tetapi pada hakikatnya riba adalah penghasilan bagi seseorang dan penganiayaan bagi yang lain. Oleh karena Itu Allah berfirman :

"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (Al Baqarah : 279)

Adapun Perkara Ketiga dalam Pembahasan Berakhlak Baik Kepada Allah Adalah :

Ridha dan sabar pada taqdir - taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir - taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.

Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.

Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.

Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).

Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam - macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya?

Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu. Dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknva engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir - taqdirNya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata:

"Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali"(AlBaqarah: 156) . ..

Dan Allah berfirman:

"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (Al Baqarah: 155)

Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur ' an dengan membenarkanny a, dan ' 'menemui' ' hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdirNya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.

Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, dermawan dan berwajah ceria.

Tigaperkara:

1. Mencegah gangguan

2. Dermawan

3. Wajah berseri-seri

PERTAMA : Mencegah gangguan

Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau (ketika beliau menunaikan haji wada'):

"Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini" (hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakukan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dan berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh. dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi bersabda :

"Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman". Ditanyakan kepada Nabi : "Siapa wahai Rasulullah ?" beliau bersabda : "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya".

Dalam riwayat Muslim :

“ Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya"

KEDUA : Dermawan

Maknanya yaitu engkau mendermakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.

Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi bersabda :

"Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi)

Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :

“ (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (All lmran:134)

Dan Allah berfirman:

"Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa" (Al Baqarah: 237)

"Dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada" (An Nur: 22)

Dan Allah berfirman :

Maka barangsiapa mema'afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" (Asy Syuura: 40)

Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" (Al Fushilat: 34)

Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan "idza Al fujaiyyah" yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya:

"Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia" (Al Fushilat : 34)

Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?

Tidak,:

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" (Al Fushilat : 35)

Dan disini terdapat masalah :

Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :

"Maka barangsiapa mema'afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" (Asy Syuura: 40)

Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?

Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".

Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya). Dan pada kesempatan ini saya ingin untuk mengingatkan atas suatu masalah yang dilakukan oleh banyak manusia dengan maksud berbuat baik. Yaitu suatu kejadian menimpa seseorang lalu orang lain meninggal disebabkannya. Maka datanglah keluarga terbunuh lalu meminta tebusan (sebagai pengganti hukuman mati) terhadap pelaku, maka apakah perbuatannya itu terpuji dan dianggap sebagai sikap berakhlak baik ? atau apakah dalam masalah ini ada perinciannya ? Ya benar, yang demikian itu ada perinciannya.

Kita harus memerhatikan dan memikirkan terhadap pelaku kejadian ini, apakah dia dan kalangan orang yang sudah dikenal dengan sikapnya yang ngawur (tidak hati-hati) ? ataukah dia dari orang yang berkata: "Aku tidak peduli menubruk seseorang, karena uang diyatnya (tebusannya) ada dilaci". Kita berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu. Ataukah ia termasuk dari kalangan orang yang tertimpa kejahatan bersamaan dengan sikapnya yang hati-hati dan sadar, akan tetapi Allah telah mentaqdirkannya? Jawabannya adalah : "kalau orang ini dari bentuk yang kedua maka memaafkan adalah lebih utama, akan tetapi sebelum memaafkan (walaupun dalam bentuk yang kedua) wajib kita lihat apakah mayit meninggalkan hutang atau tidak ? jika meninggalkan hutang yang belum terbayar maka kita tidak mungkin memaafkannya".

Dan kalau kita memberikan maaf, maka pemberian maaf kita tidak dianggap. Dan masalah ini barangkali lalai darinya kebanyakan manusia. Mengapa kita mengatakan bahwa sebelum memaafkan wajib kita melihat apakah mayit mempunyai hutang atau tidak ? Mengapa kita mengatakan yang demikian ?

Karena para ahli waris menerima hak tebusan dari mana ? dari mayit yang ditimpa keiadian dan tidaklah hak menerima tebusan diberikan kecuali sesudah hutang mayit dibayar. Oleh karena itu tatkala Allah menyebutkan tentang warisan

Dia berfirman :

"(Pembagian-pembagian tersebut di atas} sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat"(AnNisa:11)

Permasalahan ini tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang, oleh karena itu kami berkata : "jika terjadi kejadian atas seseorang, maka sebelum memaafkan pelaku kita lihat dulu keadaan pelaku perbuatan terlebih dahulu, apakah ia termasuk orang-orang yang ceroboh atau bukan ? dan kita melihat keadaan korban, apakah ia mempunyai hutang atau tidak ?

Intinya : bahwa termasuk berakhlak baik adalah dengan cara memaafkan manusia, dan ini termasuk sikap mendermakan kedermawanan, karena mendermakan kedermawanan itu bisa dengan cara memaafkan, atau menjatuhkan hukuman, atau menggugurkan hukum.

KETIGA : Wajah Berseri-seri

Yaitu seseorang berwajah ceria, dan kebalikan berwajah ceria adalah bermasam muka, oleh karena itu Nabi bersabda :

"Janganlah meremehkan sesuatu kebaikan walaupun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri" (hadits riwayat Muslim)

Berwajah ceria akan memasukkan rasa senang pada orang yang engkau jumpai dan orang yang berhadapan denganmu, mendatangkan rasa kasih sayang dan cinta, mendatangkan kelapangan dalam hati, bahkan mendatangkan rasa lapang dada bagimu dan orang-orang yang bertemu denganmu - cobalah niscaya akan kamu dapatkan ! Akan tetapi jika engkau bermuka masam, maka orang lain akan lari darimu, mereka akan merasakan ketidaksukaan untuk duduk denganmu serta berbicara denganmu. Dan boleh jadi kamu akan ditimpa penyakit yang berbahaya yaitu yang dinamakan dengan tekanan (batin). Karena berwajah ceria adalah obat yang mencegah dari penyakit ini, yaitu penyakit tekanan (batin). Oleh karena itu para dokter menasehati orang yang ditimpa penyakit ini untuk menjauhi dari hal-hal yang membangkitkan rasa marah. Karena hal itu akan menambah penderitaannya, maka berwajah ceria akan memusnahkan penyakit ini, karena manusia akan merasakan lapang dada dan dicintai mahluk.

Ini adalah tiga dasar, di mana pada tiga hal inilah berkisar sikap berakhlak baik dalam bermuamalah dengan mahluk.

Dan dari hal yang sepatutnya diketahui dalam berakhlak baik adalah bergaul dengan baik. Yaitu dengan cara seseorang bergaul dengan temannya, sahabatnya, karib kerabatnya dengan pergaulan yang baik, tidak membikin kesusahan dan kepedihan mereka, tetapi mendatangkan rasa gembira sesuai dengan batasan-batasan Syariat Allah. Dan batasan ini haruslah batasan yang berdasarkan Syariat Allah, karena diantara manusia ada orang yang tidak gembira kecuali dengan perbuatan maksiat kepada Allah, (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu), yang demikian tidak kita setujui. Akan tetapi memasukkan rasa senang kepada orang yang berhubungan denganmu dari kalangan keluarga, teman, karib kerabat adalah termasuk berakhlak baik, oleh karena itu Nabi bersabda :

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku (terhadap) keluargaku adalah orang yang terbaik diantara kalian", (hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi)

Dan sangat disayangkan banyak diantara manusia berakhlak baik kepada orang lain, akan tetapi mereka tidak berakhlak baik kepada keluarganya, ini adalah sikap yang salah dan membalikkan hak-hak, bagaimana mungkin kamu berbuat baik kepada orang-orang jauh dan berbuat jelek kepada kerabat dekat ? kerabat dekat adalah manusia yang paling berhak kamu berhubungan dan bergaul dengan baik. Oleh karena itu bertanya seorang lelaki kepada Rasulullah :

"Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku berbuat baik padanya?" Rasulullah menjawab : "Ibumu", lalu ia bertanya lagi : "lalu siapa ya Rasulullah ?" Beliau menjawab: "Ibumu", lalu lelaki itu bertanya lagi: "lalu siapa ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "ayahmu". Pada jawaban pertanyaan ketiga atau keempat. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Intinya : bahwasanya bergaul dengan baik kepada keluarga, sahabat-sahabat, kerabat terdekat, semua itu termasuk berakhlak baik. Dan sepatutnya kita di tempat ini (tempat syaikh Utsaimin menyampaikan ceramah) menampakkan keberadaan pemuda dimana kita membiasakan mereka untuk berakhlak baik, agar tempat ini menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, karena ilmu tanpa tarbiyah (mendidik) terkadang mudharatnya (akibat jeleknya) lebih besar dari manfaatnya, akan tetapi bersama dengan tarbiyah, ilmu akan memperoleh hasil yang dituju. Oleh Karena itu Allah berfirman :

“ Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (All Imran : 79)

Ini adalah faedah ilmu, dimana manusia akan menjadi Rabbaniyyin artinya pendidik hamba-hamba Allah di atas syariat Allah.

Dan markas ini (tempat beliau ceramah), kami mengharapkan kepada pendirinya untuk menjadikannya sebagai tempat berlomba-lomba dalam berakhlak yang utama, diantaranya adalah berakhlak baik. Dan berakhlak baik bisa terjadi karena memang sudah tabiatnya atau karena mengupayakan untuk berakhlak baik (sebagaimana penjelasan lalu). Dan berakhlak baik karena memang sudah menjadi tabiat adalah lebih sempurna dari berakhlak baik karena mengusahakan untuk berakhlak baik. Dan kami telah mendatangkan dalil tentang hal ini yaitu sabda Rasulullah :

"Itu telah Allah ciptakan untukmu"

Dan berakhlak baik yang dihasilkan dari mengusahakan untuk berakhlak baik, terkadang banyak hal terlewatkan, karena berakhlak baik dengan cara berusaha akan membutuhkan latihan, sikap menderita dan menahan, serta mengingat (untuk sabar) ketika mendapatkan hal yang membikin marah dari manusia. Oleh karena datang seorang lelaki berkata kepada Rasulullah :

"Wahai Rasulullah, berikan aku wasiat, Rasulullah bersabda : janganlah kamu marah"

Dan Nabi bersabda :

"Bukanlah orang yang kuat itu pegulat, tetapi yang dinamakan orang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah" (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Bukanlah orang yang kuat itu pegulat, tetapi yang dinamakan orang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah, yaitu orang yang bergulat dengan jiwany a dan menguasainya ketika marah itulah orang yang kuat.

Dan penguasaan manusia terhadap jiwanya dianggap termasuk dari akhlak-akhlak yang baik. Jika kamu marah maka janganlah meneruskan kemarahanmu, (tetapi) berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Jika kamu marah (dalam keadaan berdiri) maka duduklah, dan ketika kamu marah dalam posisi duduk maka berbaringlah, dan jika rasa marah bertambah maka berwudhulah hingga hilang darimu rasa marah.

Maksudnya kami mengatakan : bahwasanya berakhlak baik itu terjadi secara tabiat, dan juga dari upaya untuk berakhlak baik. Dan berakhlak baik yang dihasilkan dari tabiat adalah lebih utama ; karena sudah menjadi suatu perangai pada manusia. Dan ia akan mudah dalam segala keadaan ( untuk berakhlak baik ). Akan tetapi berakhlak baik yang dihasilkan dari upaya terkadang terlewatkan dalam beberapa kondisi.

Demikianlah kami katakan bahwa berakhlak baik dapat diperoleh dengan mengusahakannya, artinya seseorang membiasakan dirinya. Lalu bagaimanakah manusia dapat berakhlak baik ? manusia dapat berakhlak baik dengan hal-hal berikut ini:

Pertama :

Melihat dalam Al Qur'an dan hadits Rasulullah, (yaitu) melihat dalil-dalil yang menunjukkan terpujinya akhlak yang agung ini. Dan seorang yang beriman jika melihat nash-nash yang memuji tentang akhlak atau amal perbuatan maka ia akan berusaha mengamalkannya.

Kedua :

Duduk dengan orang-orang yang baik dan shalih yang dipercaya dalam keilmuan mereka atau amanat mereka, Nabi bersabda :

"Permisalan teman duduk yang baik dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi penjual minyak wangi tidak akan melukaimu, mungkin engkau membelinya atau engkau mendapatkan baunya. Sedangkan pandai besi akan membakar badanmu atau pakaianmu, atau engkau akan mendapatkan bau yang tidak sedap". (Hadits riwayat Bukhari)

Maka wajib bagi kalian wahai pemuda, untuk berteman dengan orang-orang yang sudah dikenal berakhlak baik dan menjauh dari akhlak yang jelek, dan perbuatan yang hina, hingga engkau mengambil dari teman itu "madrasah" darinya engkau mendapatkan pertolongan untuk berakhlak baik.

Ketiga :

Hendaknya seseorang memperhatikan apa yang diakibatkan oleh akhlak buruknya, karena akhlak yang buruk itu dibenci, dan dijauhi, serta termasuk sifat yang jelek.

Maka jika seseorang mengetahui bahwa berakhlak buruk itu mengantarkan kepada hal ini, maka hendaknya ia menjauhinya.

Kita memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya baik secara dhahir maupun batin, dan mewafatkan kita dalam keadaan yang demikian ini serta melindungi kita didunia akhirat. Dan (melindungi) hati kita dari ketergelinciran sesudah Dia memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kepada kita rahmat-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pemberi.

Disunting dari Majalah Adz Dzakiirah dengan disertai beberapa pengeditan